DILEMA REPUBLIK ONLINE
Bersama : Merangkul Kata
FACEBOOK adalah Dunia Maya. Dunia ini menggoda siapa
saja yang memasukinya. Ia menghadirkan berbagai dinamika hidup serta
akibat baik dan buruk. Jalinan pertemanan, persaudaraan, percintaan,
belajar bersama, perdebatan dan konflik, pengkhianatan, caci maki, dan
sebagainya. Apapun adanya, ia telah menjadi semacam “pesona” yang bisa
membentuk sifat dan kepribadian seseorang. Termasuk seseorang bisa
tercerabut jati dirinya, atau membentuk jati diri lain.
Layaknya kehidupan manusia pada umumnya, setiap orang menginginkan
hidupnya memiliki arti, kejelasan arah, dan tujuan yang baik.
Keteraturan hidup menjadi hal rasional yang pasti ingin dicapai. Siapa
pun dia, apapun tujuannya, dunia maya adalah ruang hidup yang memiliki
arti tersendiri untuk mengekspresikan diri. Intinya, setiap orang
menjadi pengendali utama dari perasaan dan keinginannya. Atau hanya
tunduk dan patuh terhadap tata aturan dan nilai-nilai yang diyakininya.
Kalau dunia nyata, orang memperlihatkan wujud fisiknya menjadi satu
kesatuan dengan pikiran dan perasaannya. Di dunia maya tidak demikian
adanya. Namun begitu. Sekali pun tak bisa disamakan realiatasnya dengan
kehidupan nyata, dunia maya tidak bisa diartikan sebagai kondisi
imajinatif belaka. Juga tak bisa disamakan dengan mimpi di saat tidur.
Hidup bersandiwara, manipulasi identitas, dan menyembunyikan diri,
bukan mutlak hanya terjadi di dunia maya. Di dunia nyata, hal seperti
ini pun banyak dijumpai. Dunia nyata memiliki realitas berdasarkan
indikator-indikatornya, demikian juga dunia maya. Masing-masing memiliki
sudut pembenaran tersendiri tentang realitas, tergantung dari sudut
mana orang menentukan realitas itu.
Di dunia maya seseorang bisa melakukan apa saja sesuai keinginannya
tanpa orang lain cepat mengetahuinya. Hingga sering orang mengatakan
bahwa dunia maya sarat kebohongan dan pengkhianatan; bukan tempat yang
baik untuk membangun kesepakatan dengan orang lain; sulit meminta
pertanggungjawaban orang; dan tidak bisa memastikan kebenaran sifat dan
perilaku seseorang.
Sebenarnya kedua dunia ini memiliki indikatornya masing-masing untuk
menilainya. Di dunia nyata pembuktian lahir dari tertangkapnya simbol
dan pesan oleh panca-indera. Di dunia maya indikator pembuktiannya
seperti itu juga. Beda hanya di derajat penangkapan simbolik oleh panca
indera. Pembeda utama hanya terletak pada sesuatu itu hidup dan bisa
diliha-raba wujudnya.
Namun demikian, pembeda di atas pun sebenarnya terbantahkan juga.
Karena seseorang yang berinteraksi di dunia maya bukan orang tuli, buta,
tidak waras, dan sedang tidur lalu bermimpi. Ia telah memilih untuk
hidup di dunia ini dengan kesadarannya dan berinteraksi dengan sesamanya
berdasarkan kemauan dan tujuannya sendiri.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa orang yang banyak berinteraksi
di dunia maya, cenderung memiliki tingkat kesadaran sosial yang rendah
terhadap lingkungannya. Ia menjadi terasing dengan orang-orang dan
perubahan di dunia nyata. Ia memiliki kepribadian yang tertutup, suka
menyendiri, dan tidak peka dalam hidup bermasyarakat. Hal ini menurut
saya tidak demikian, tergantung siapa orangnya.
Pada dasarnya dunia nyata terbentuk lebih awal dari sekumpulan ide
dan gagasan individua yang abstrak. Baru kemudian diwujudnyatakan oleh
sifat dan perilaku serta hasil karya. Di dunia maya, asal bahan
komunikasi dalam berinteraksi adalah hal-hal nyata yang kemudian di
abstraksikan oleh perasaan dan akal dalam bentuk simbolik:
visual/gambar, audio/suara, tulisan, dsb.
Bila dunia nyata membutuhkan bahan dan referensi pengalaman untuk
menyatakan: suatu hal benar atau salah dan jujur atau bohong;
membutuhkan pengakuan; dan keterlibatan orang lain, di dunia maya pun
demikian adanya.
Kenapa demikian? Sebab semua yang dilakukan di dunia maya terbentuk
dari apa yang di alami di dunia nyata. Ini hanya soal memindahkan
realitas hidup dari satu bentuk ke bentuk yang lain, dari satu ruang ke
ruang lain. Atau membolak-balikkan materi pembentuk realitas berdasarkan
indikator masing-masing ruang sesuai fungsi dan sifat ruang itu.
Berdasarkan pengalaman berinteraksi di dunia maya, saya berpikir
bahwa setiap orang harus bersikap “apa adanya” sesuai dirinya. Atau
harus menetapkan standar bersikap dan berperilaku untuk dirinya sendiri.
Tepatnya, suatu tata aturan yang bisa menggambarkan tujuan dan
keteraturan hidupnya. Aturan ini bersifat personal, karenanya tidak bisa
dipaksakan kepada orang lain untuk dimiliki dan ditaati. Bahasa
sederhananya, mengatur diri sendiri agar hidup layaknya anggota suatu
masyarakat dunia nyata. Ini dimaksudkan untuk mereduksi pengaruh negatif
berinteraksi di dunia maya, meningkatkan manfaat berekspresi dan
menyatakan diri, dan meminimalisir resiko berkonflik dengan orang lain.
Sedangkan tujuannya untuk membedakan jati diri dari orang.
Dari hal apa tata aturan itu dibentuk? Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, bahwa seseorang memasuki dunia maya atas kesadaran dan
kemauannya sendiri. Sudah tentu ia pun memiliki alasan dan tujuan
tersendiri. Apa yang dilakukan di dunia maya adalah segala yang
bersumber dari perasaan dan pemikirannya di dunia nyata. Atau
pengalaman-pengalamannya di dunia nyata yang ia pindahkan ke dunia maya
dalam bentuk simbolisasi dan pesan. Olehnya, seseorang harus memindahkan
nilai-nilai yang menjadi standarisasi sifat dan perilakunya di dunia
nyata agar menjadi tata aturan hidupnya di dunia maya.
Tidak bermaksud menilai keburukan orang lain dan menempatkan mereka
sebagai tidak memiliki aturan hidup, saya harus menetapkan semaca “Kode
Etik” hidup saya di dunia maya:
- Berpikir Merdeka
- Berbahasa Santun dan Jelas
- Menghargai Hak dan Kebenaran Lain
- Tidak Menyerang Pribadi Orang
- Tidak Memfitnah dan Menyebar Aib Orang
- Berprasangka Baik
- Selalu Mengecek Kebenaran
- Menghindari Perdebatan
- Melindungi Orang yang Teraniaya
- Berempati kepada Orang Lain
- Memberikan Manfaat Kebaikan
- Tidak Menghujat Keyakinan Lain
Berikut penjelasan satu persatu dari kedua belas etika di atas:
Ad. 1.
Artinya, bahwa dalam berpikir, seseorang harus lebih dulu menghargai
kemampuan dirinya, baru kemudian mengakui kelemahannya. Mengenal diri
sendiri merupakan hal mutlak dalam proses mengembangkan kapasitas diri
(intelektual mental). Hanya dengan ini seseorang bisa mandiri dalam
banyak hal dan tidak malu meminta bantuan orang lain.
Kebiasaan meniru orang dalam berbagai hal, bukan suatu yang salah.
Apalagi bila meniru – mencontohi dimaksud untuk belajar dan memotivasi
diri. Namun bila ini terus terjadi, kadang membuat diri jadi malas
mencoba hal baru dan takut gagal dalam banyak hal.
Salah satu pengaruh buruk dari tidak berpikir merdeka adalah selalu menjaga gambaran diri tetap baik (jaim). Atau menutupi kelemahan dan hanya menampilkan kelebihan diri semata. Ada kecenderungan orang “jaim” sulit menerima kelemahan dan keburukan orang lain, karena ia selalu menggunakan standar kebenarannya sendiri.
“Berpikir Merdeka” adalah berpikir apa adanya sesuai konteks. Tanpa
tekanan apapun dan jauh dari kepentingan subjektif. Suatu model berpikir
yang mengalir, tidak merusak pikiran orang, tidak memaksa kehendak,
tidak mendoktrin, dan selalu menyediakan ruang untuk pemikiran berbeda
dari orang lain. Kebenaran dan kesalahan selalu ditampilkan apa adanya,
tanpa polesan untuk mempermanis atau mengaburkan.
Ad. 2.
Komunikasi yang baik selalu dimulai dengan pemahaman yang utuh –
menyeluruh tentang konteks dan substansi materi komunikasi. Lalu
kemudian diikuti dengan menempatkan lawan bicara (komuniken) pada posisi yang sederajat dan atau sesuai hal-hal yang menjadi alasan dia pantas dihormati.
Tak berguna sebuah komunikasi dalam hal apapun, bila penyampai pesan (komunikator) dan penerima pesan (komuniken)
sama-sama tidak memahami: materi yang dikomunikasikan, tata-cara
berkomunikasi, saling menghargai, dan tujuan melakukan komunikasi.
Selain pemahaman jelas tentang unsur-unsur tersebut, kesantunan
(etika komunikasi) menjadi sebuah keharusan. Di sinilah letak kematangan
emosi seseorang diuji. Etika komunikasi memberikan kesadaran normatif
kepada kedua pihak untuk saling menghargai, menggunakan tata bahasa yang
baik, pandai memilih kata yang mendamaikan pikiran orang, mampu membuat
struktur kalimat yang jelas, dan tidak “debat kusir”. Masing-masing
pihak nantinya sadar diri, bisa memahami perbedaan, menghargai kebenaran
orang lain, dan tetap berfokus pada tujuan pembicaraan.
Kesantunan tak diartikan sebagai perhormatan yang lebih kepada
seseorang. Ia hanya dipahami sebagai menghormati kapasitas yang melekat
pada diri orang lain. Dan bila yang diajak bicara adalah orang yang
kemampuannya di rendah, maka sifat mau membagi kemampuan, mencerahkan
pemikiran, dan belajar bersama yang lebih mengemuka.
Ad. 3.
Di dunia maya, perdebatan terbesar banyak terjadi karena
masing-masing orang menganggap dirinya paling berhak dan paling benar.
Sering orang memutar-balikkan suatu fakta kebenaran dan mengatakan ia
punya hak melakukan itu. Ini terjadi, karena tidak semua orang pandai
berkomunikasi secara tertulis dan mampu mengeksplorasi kemampuan diriny.
Setiap orang berhak menyatakan apa yang ia rasa dan pikiRkan; setiap
oran pun berhak menyampaikan kebenaran yang ia yakini. yang demikian ini
adalah hak yang azasi. Olehnya, setiap orang pun harus menerima hak dan
kebenaran milik orang lain.
Bicara tentang hak dan kebenaran, adalah bicara tentang identitas
diri dan keyakinan. Tidak ada seorang pun yang mau hak dilanggar dan
dipasung dan kebenarannya dilecehkan oleh orang lain. Setiap orang
sadar, bahwa yang namanya hak tidak bisa diintervensi oleh siapapun; dan
yang namanya kebenaran tak bisa dipaksakan untuk diterima oleh orang
lain.
Ad. 4.
Membaca beberapa diskusi dan saling berkomentar yang telah menjurus
ke perdebatan dan konflik pemikiran, kebanyakan orang yang merasa kalah
berargumentasi dan tersudut, suka menyerang pribadi lawan bicaranya.
Kadang dilanjutkan sampai saling caci maki dan mau membalas bila bertemu
di dunia nyata.
Ini sebuah hal lucu sekaligus kekanak-kanakan. Keburaman –
ketidakjelasan identitas di dunia maya yang sengaja dibuat, menjadi
pemicu yang utama, selain ketidak-dewasaan dalam menyikapi perbendaan
latar pengetahuan. Padahal bila disikapi dengan wajar dan tidak
sebjektif, situasi memalukan ini tidak perlu terjadi.
Dalam berdiskusi atau terpaksa masuk dalam suatu perdebatan,
ketenangan berpikir dan tidak merasa diri paling pintar dari orang lain,
akan membuat kita tetap fokus pada materi diskusi-debat. Kita pun
menjadi bisa mengeksplorasi kemampuan terbaik diri dan menyusun strategi
jawaban yang dipercaya.
Banyak status kita temui di dunia maya, menjadi menyimpang arahnya
karena dikomentari oleh sebagian orang yang tidak cerdas dan bermental
payah. Sampai-sampai kita temukan komentar yang diberikan bukan kepada
substansi status, tapi ke pribadi penulis status. Ini sesuatu yang
menyedihkan. Padahal bila kita telah menyerang pribadi orang lain, maka
orang lain pun akan bereaksi menyerang kembali dengan tujuan pertahanan
dirinya.
Tak bisa dipungkiri, untuk perkara menyerang pribadi seseorang, biasa
dilakukan tidak secara langsung. Orang bisa menggunakan pengandaian
atau menyidir saja. Tapi hal ini pun tidak etis dalam hidup
bermasyarakat, apalagi sebagai sesama sahabat.
Ad. 5.
Keburaman identitas dan sifat dunia maya yang demikian adanya, sering
membuat seseorang menyakiti dan merugikan orang lain tanpa diketahui
orang yang yang terzalimi. Entah berapa banyak tukang fitnah dan orang
yang terfitnah di Facebook. Banyak kita jumpai orang-orang yang juga
suka menyebarkan dan mempertontonkan aib saudara dan sahabatnya sendiri.
Sungguh ironis, bila waktu berjam-jam di dunia maya, lebih banyak
diisi hanya dengan menebar keburukan orang dan membuat pertikaian –
konflik.
Bila kita bertanya, kenapa seseorang mau melakukan perbuatan rendah
seperti itu? Jawabannya, karena dia menampilkan sifat dan perilaku
nyatanya. Sifat ini adalah sebuah bentuk kebiasaan buruk. Iri hati,
dengki, marah, kecewa, cemburu, menjadi unsur-unsur yang memotivasi
seseorang melakukannya.
Sangat baik bila mata dan telinga kita buka lebar untuk menangkap
kebaikan dan kelebihan orang lain. Membuka lebar mulut hanya untuk
mengabarkan hal baik dan terpuji. Dengan membiasakan diri memperhatikan
dan mengurus diri sendiri agar menjadi baik, lebih banyak memberikan
manfaat untuk orang lain, kita bisa mengurangi sifat buruk ini.
Ad. 6.
Selalu berprasangka baik kepada orang lain bisa membuat pikiran dan
hati kita menjadi bersih dan peka terhadap kebenaran. Pikiran yang
selalu diisi dengan kebaikan akan menjadi tajam dan termanfaatkan
seluruh potensinya. Ini sama juga dengan hati yang bersih.
Tak ada manfaat apapun dari berprasangka buruk kepada orang lain.
Malah kalau sebaliknya kita berprasangka buruk, hati dan pikiran kita
menjadi tidak tenang.
Berbaik sangka adalah cerminan diri dari orang yang berpikir merdeka
dan cerdas. Karena orang seperti ini tidak ingin potensi terbaik dirinya
terbuang sia-sia di luar dirinya. Apalagi habis terpakai untuk
keburukan.
Ad. 7.
Sikap kehati-hatian dalam menerima berita/informasi tentang apa saja
sangat penting. Ini bagian dari perilaku mawas diri dan pertahanan diri
untuk tidak berbuat salah dan terjahati – tertipu oleh orang lain.
Hanya orang-orang yang memiliki kematangan emosi, pengalaman hidup
yang cukup, dan kehidupannya dijalankan secara terencana dan terarah
yang bisa melakukan hal ini.
Namun demikian, bukan berarti mereka yang tidak seperti itu tidak
bisa melakukannya. Hal terpenting adalah selalu menetapkan filterisasi
diri untuk menyaring semua informasi yang diterima, melakukan
klasifikasi informasi berdasarkan mutunya dan sumber informasi, kemudian
menentukan langkah-langkah tertentu untuk mencari tahu kebenarannya.
Ad. 8.
Komunikasi dan atau diskusi yang baik ditandai dengan minimnya
perdebatan. Apalagi perdebatan pada hal-hal sepele. Jauh juga dari
merasa diri paling pandai dan benar.
Hanya dengan saling menghargai pendapat, jelas dalam
berbicara/menulis, tetap fokus pada subtansi materi, dan selalu
memberikan ruang untuk pendapat dan kebenaran berbeda, kita bisa
menghindari perdebatan.
Kebanyakan perdebatan yang terjadi disebabkan oleh tiga hal pokok:
Ketidak-jelasan materi; kurangnya pemahaman akan tujuan; dan suka
memaksakan kehendak. Tapi tidak jarang juga perdebatan terjadi karena
seseorang merasa dirinya lebih pandai dan paling benar serta ingin
menguji orang lain.
Perdebatan yang bersumber pada dua hal yang terkahir, biasanya tidak
akan pernah menemukan titik temu pemikiran dan diakhiri dengan saling
hujat dan caci maki.
Ad. 9.
Tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam
pendidikan formal dan meningkatkan kemampuan dirinya di luar itu. Banyak
faktor yang menjadi penyebabnya. Untuk itu, hal ini tak perlu
dibicarakan panjang lebar.
Melindungi orang yang teraniaya di dunia maya dimaksudkan kepada
orang yang teraniaya pikirannya oleh pikiran orang lain. Lebih jelasnya
melindungi dan membantu orang yang belum mampu mengembangkan kualitas
pikirannya agar tidak menjadi sasaran pembodohan dan penipuan oleh orang
lain.
Sadar atau pun tidak, dominasi pemikiran dan intervensi pikiran
satu/beberapa orang kepada orang lain banyak terjadi. Tujuannya sangat
beragam. Namun demikian, sangat baik bila membantu orang-orang tertentu
agar tak terzalimi dirinya oleh pikiran orang lain.
Saling berbagi ilmu dan pengalaman dalam bentuk apa saja adalah cara terbaik untuk melindungi mereka yang kurang beruntung.
Ad. 10.
Berempati terhadap sahabat dan saudara yang terkena
musibah-masalah-terzalimi adalah sikap terpuji. Kita tidak hidup sendiri
di dunia maya. Sebagai manusia, kita pun membutuhkan sesuatu dari orang
lain, seperti: perhatian, peduli, kesetiaan, menyayangi, mencintai, dsb.
Berempati kepada orang lain bukan berarti ikut terlibat dalam masalah
dan kedukaannya. Tapi cukuplah turut merasakan apa yang dialaminya,
sembari memberikannya motivasi dan nasehat agar bangkit memperbaiki
dirinya.
Dalam bersahabat dan bersaudara, kesetiaan terhadap sesama ada
fondasi utamanya. Tak ada salahnya, kita menyapa orang lain, memberikan
senyum tulus, berbagi kegembiraan dan bahagi, atau menanyakan kesehatan
mereka.
Dunia maya tak boleh membuat perasaan kita beku membatu, akal kita
terpasung dan mati. Kedamaian dan kebahagiaan adalah kebutuhan azasi
setiap orang, maka marilah kita membaginya kepada sesama tanpa pamrih
Ad. 11.
Sangat disayangkan, bila anugerah hidup dari Tuhan kita isi dengan
kejahatan dan keburukan. Apalagi sampai kita mengkhianati nikmat akal
dan hati dan ilmu yang telah diberikan oleh Dia.
Berbagi kebaikan kepada sesama merupakan suatu kebahagiaan tersendiri
dari orang-orang yang pernah melakukannya. Siapapun dia, di dalam
hidupnya, pasti merasakan perasaan damai yang tak terkira, bila ia telah
memberikan manfaat dan kebaikan kepada orang lain.
Banyak cara berbagi manfaat kebaikan dengan sesama, antara lain:
membuat status yang berisi ilmu dan informasi bermanfaat, berbagi
nasehat lewat tulisan dan gambar/foto, memberikan komentar yang baik dan
mencerahkan, memberikan solusi baik untuk suatu masalah, menjelaskan
suatu perkara yang belum dipahami orang, memberikan tanda suka (jempol)
kepada status dan komentar orang lain, dsb.
Ad. 12.
Agama dan keyakinan adalah suatu hal yang sangat peka untuk
diperdebatkan dan disalahkan. Apalagi bila yang menyalahkan dan
memperdebatkannya adalah orang yang bukan penganutnya. Ini sebuah
kebenaran hakiki dalam pandangan pribadi pemeluknya. Hingga siapa saja
yang mengatakannya salah dan menghujatnya, maka penganutnya akan melawan
dan balik menyerang.
Apapun alasannya, seorang tak berhak menyalahkan, menghujat, mencaci,
dan membolak-balikkan kebenaran agama dan keyakinan orang lain. Agama
adalah suatu hal yang bersifat “imanen” dan mutlak hak milik personal dengan yang diyakininya. Orang lain tak bisa mengotak-atiknya.
Mencermati banyak orang di dunia maya mengkritik – menyalahkan dan
memperdebatkan agama dan keyakinan orang lain, saya sempat menulis
status dan essai tentang situasi ini. Di status, saya menulis:
“Agama dan keyakinan tidak untuk diperdebatkan. Tetapi untuk
dipahami dan dijalankan oleh masing-masing penganutnya. Untukmu agamamu,
dan untukku agamaku.”
Kedua belas point ini adalah perwujudan dari etika diri. Siapapun
bisa membuat standar etika yang berbeda untuk dirinya sendiri. Pesan
yang ingin saya sampaikan di sini, bahwa kita tidak hidup sendiri di
dunia maya. Setiap saat kita selalu butuh berinteraksi dengan orang
lain dan beragam kepentingan. Sebab dunia maya telah membentuk satu
jejaring relasi yang kompleks, yang didalamnya terjadi kompetisi
kepentingan dan penyesuaian diri (adaptasi aktif). Olehnya tepat bila
dunia maya dikatakan sebagai sistem hidup bermasyarakat.
Setiap orang harus mau dan bisa mengendalikan dirinya, agar sifat dan
perilakunya tidak menyinggung dan merugikan orang lain. Meskipun dunia
ini tidak memiliki bentuk jelas dan tata aturan yang mengikat semua
orang, tapi paling tidak kita bisa membentuk identitas kita sendiri.
Kita bisa menunjukkan, bahwa kita berbeda dengan kebanyakan orang dalam
berbagai hal. Kita mau untuk menjadi diri sendiri, sekaligus juga
menghargai dan memberikan ruang kepada orang lain untuk menjadi dirinya
sendiri.
Sumber : http://intsia.wordpress.com/2013/03/05/dunia-maya-suatu-prinsip-hidup-dan-etika/