Artikel

KEPEMIMPINAN ISLAM: DUNIAWI DAN UKHRAWI

Oleh : Zuchri Lubis


Islam adalah agama yang sempurna. Di antara kesempurnaan Islam ialah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah SWT (hablumminallah), maupun hubungan dengan manusia (hablumminannas),  yang kesemuanya terangkum dalam dalil-dalil nas, termasuk di antaranya aspek kepemimpinan. 
Dalam Islam, pemimpin (amir/imam/khalifah) dalam suatu komunitas masyarakat adalah sebuah kewajiban. Bahkan, sudut pandang Islam penting pemimpin dapat dilihat dalam hadis  riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah ra, Nabi SAW bersabda:
“Apabila keluar tiga orang untuk bersafar, maka angkat satu di antaranya sebagai pemimpin.” (HR. Abu Daud)
Pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin terhadap seluruh metafisik dirinya. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas segala kepemimpinannya.  Tugas-tugas kepemimpinan tersebut mengharuskan setiap manusia melakukan interaksi terhadap sesamanya sesuai dengan hakikat dirinya sebagai makhluk sosial. Kepemimpinan merupakan sesuatu yang sangat penting dan tidak bisa dipisahkan dari berbagai aspek kehidupan, mulai dari tingkat individu, keluarga, masyarakat hingga tingkat kenegaraan.
Tinjauan etimologisnya, kepemimpinan dalam Islam berakar dari kata Imam (asal katanya amama yang artinya berada di depan), ummah yang artinya mengasuh, atammah yang artinya menyempurnakan, yanamma yang artinya menenangkan, amir yang artinya memberi perintah, waliy yang artinya akrab dan qadah/qiyadah yang artinya pemandu.
Secara terminologi, para fuqaha mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu sikap mengarahkan yang mencakup urusan keduniaan dan keagamaan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW yang wajib dipatuhi oleh seluruh ummat Islam.
Imam Al-Jauhary mendefenisikan pemimpin sebagai orang yang memberi petunjuk (yuqtada). Menurut Imam Al-Mawardi kepemimpinan sama halnya dengan khilafah dan imamah, karena inilah makna kepemimpinan yang sesungguhnya di masa Nabi SAW, yaitu untuk memimpin agama dan keduniaan. Menurut Ibnu Khaldun kepemimpinan adalah penanggung jawab umum dimana seluruh urusan kemaslahatan syari’at baik ukhrawiyyah maupun dunyawiyyah kembali kepadanya.
Keberadaan seorang pemimpin bagi orang yang beriman sangatlah penting. Sehingga Rasulullah SAW mengeluarkan pernyataan:
“Tidak halal bagi tiga orang yang berada di padang sahara kecuali jika mereka mengangkat salah satu dari mereka untuk menjadi pemimpin.” (HR. Ahmad)
Begitu pentingnya kepemimpinan ini, Allah SWT tidak membiarkan hambanya untuk mencari dan mengangkat pemimpin dengan caranya sendiri. Allah SWT telah menjelaskan kriteria-kriteria pemimpin yang pantas untuk dipilih menjadi pelayan umat. Di antara kriteria terpenting menjadi pemimpin umat Islam adalah beragama Islam dan beriman.
Allah Swt. Berfirman, yang artinya:
Wahai orang-orang beriman jangan kamu angkat orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin, (karena) sebagian mereka adalah pemimpin sebagian yang lain. Dan siapa-siapa yang mengangkat mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya mereka termasuk golongan mereka (Yahudi, Nasrani). Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. al-Maidah : 51)
Penggunaan kata Yahudi dan Nasrani dalam konteks ayat ini merupakan suatu isyarat bahwa di dalam kitab-kitab mereka yang asli tidak ada ajaran-ajaran yang memusuhi ajaran Tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, namun setelah mereka lebih menonjolkan golongan mereka dan berseberangan dengan ajaran Tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, maka Allah SWT tidak menggunakan kata-kata “Wahai orang-orang beriman jangan kamu angkat orang-orang kafir menjadi pemimpin.” Karena kafir itu sendiri telah nyata kekufurannya kepada Allah SWT. Maka penggunaan kata Yahudi dan Nasrani dalam ayat ini adalah indikator bahwa bila mana mereka memimpin, diduga keras akan mengutamakan golongan mereka sendiri.
Fenomena ini dapat dirasakan di mana negara yang berpenduduk mayoritas muslim, orang-orang non muslim mendapat kesempatan untuk memegang jabatan, bahkan jabatan penting sekalipun. Sebaliknya belum ditemukan di negara-negara mayoritas non muslim, ada orang muslim yang memegang jabatan penting dalam pemerintahan, bahkan kerap kali tidak diberi kesempatan sama sekali, sehingga kepentingan umat Islam tidak terakomodir dengan baik, dan itu bertentangan dengan tujuan dan makna filosofis dari kepemimpinan itu sendiri yaitu sebagai pelayan umat (Khadimul Ummah).
Jadi, kepemimpinan dalam Islam bukan hanya sebagai amanah dari Allah SWT atau perwakilan dari umat, apalagi bagi-bagi jatah, lebih penting dari semua itu kepemimpinan adalah bahagian dari keimanan itu sendiri, karena seseorang yang tidak berbai’at kepada pemimpinnya, maka matinya digolongkan kepada mati Jahiliyah.
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa mati dan di pundaknya tidak ada bai’at maka dia mati dengan kematian Jahiliah. (HR. Muslim)
Pemilihan pemimpin secara langsung melalui Pemilu atau Pilkada dapat dianggap sebagai bai’at seorang muslim kepada pemimpinnya, dan seorang muslim diharamkan berbai’at kepada orang-orang non muslim, atau berbai’at kepada orang Islam yang tidak komitmen terhadap Islam.
Dan dapat diduga bahwa orang muslim yang membai’at pemimpin yang tidak seagama dengannya, tergolong kepada kelompok orang yang dibai’atnya, baik secara sadar atau tidak sadar. Inilah yang dikhawatirkan oleh seorang sahabat rahasia Rasul SAW, Huzaifah bin Yaman dalam menafsirkan ayat 51 surat al-Maidah di atas:
“Hati-hatilah setiap orang muslim, bahwa dia telah menjadi Yahudi atau Nasrani, sedangkan dia tidak merasa.” (HR. Abdul Humaid)
Hal tersebut cukup beralasan karena pembai’atan pemimpin merupakan bahagian dari loyalitas (kesetiaan), sementara loyalitas seorang muslim hanya dibatasi kepada Allah SWT, Rasulullah SAW dan orang-orang yang beriman. Dalam konteks yang lain Rasulullah SAW mengingatkan:
“Sepeninggalanku, akan muncul para pemimpin yang berkata dan perkataannya tak boleh disanggah mereka melompat-lompat seperti monyet melompat-lompat.” (HR. Thabrani dan Abi Ya’la)
Apakah yang dimaksud oleh hadis ini melompat dari satu organisasi ke organisasi yang lain, dari satu partai kepada partai yang lain, boleh jadi benar kalau dihubungkan dengan konteks ke-Indonesiaan. Akhirnya kepemimpinan dalam Islam sangat penting. Ia bukan hanya amanah tetapi bahagian dari keimanan. 
Setiap orang adalah pemimpin (pemelihara) dan akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap kepemimpinannya, baik pemimpin negara, pemimpin keluarga, pemimpin rumah, isteri dan anak-anak, penggembala dan siapa saja yang memiliki tanggung jawab, termasuk pemimpin dirinya sendiri.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar