KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah,
sudah selayaknyalah kita ucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, sang pencipta
yang telah memberikan banyak nikmat dan hidayah-Nya kepada kita. Shalawat dan
salam kita hadiahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, semoga kita dapat
menjadikan beliau sebagai teladan. Dan berkat rahmat dari Allah SWT, penyusunan
makalah “Agama dan Negara” ini, mampu pemakalah selesaikan sesuai dengan waktu
yang telah direncanakan. Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu
syarat penilaian pada mata kuliah Pemikiran Politik Islam Tematik.
Dalam pembuatan
makalah ini, pemakalah tidak berniat untuk mengubah materi yang sudah tersusun.
Namun, hanya melakukan metode studi banding atau membandingkan beberapa materi
yang sama dari berbagai referensi, yang semoga bisa memberi tambahan pada hal
yang terkait dengan kepentingan Pemikiran Politik Islam Tematik terutama pada hal
Agama dan Negara.
Melalui makalah
ini, pemakalah juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Amiur
Nuruddin, M.A, selaku dosen pada mata kuliah Pemikiran Politik Islam Tematik
yang telah membimbing pemakalah dalam pembuatan makalah ini. Dalam pembuatan
makalah ini, pemakalah menyadari adanya kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, pemakalah
mohon maaf atas
segala kekurangan dalam makalah ini. Dan akhirnya pemakalah mengucapkan terima kasih atas perhatian pembaca
sekalian, dan semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua. Amin.
Medan, 09 Oktober 2013
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Islam
adalah agama yang sempurna, di antara kesempurnaan Islam ialah mengatur seluruh
aspek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah SWT (hablumminallah),
maupun hubungan dengan manusia (hablumminannas) yang kesemuanya terangkum
dalam dalil-dalil nash.[1]
Salah satu hasil dari adanya interaksi
antar manusia (hablumminanas) tersebut adalah berkembangnya pengetahuan
manusia mengetahui pemikiran politik. Dalam pemikiran politik terdapat hubungan
antara negara dengan warganegaranya. Dari beberapa sub bahasan pada makalah ini,
akan dibahas mengenai hubungan agama dan negara.
Sebuah negara memiliki tujuan tertentu sesuai model negara
tersebut. Tokoh aliran teokrasi, Thomas Aquinas dan Agustinus, menyebutkan tujuan
Negara adalah untuk mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan tentram dengan
taat kepada Tuhan.[2]
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa
kedudukan agama di negara ini tidak diakui keberadaannya. Misalnya menurut
sosialisme, hubungan antara agama dan negara diistilahkan sebagai hubungan yang
negatif. Menurut sekularisme, peranan agama di negara ini dibatasi. Menurut
kapitalisme, agama harus dipisahkan dari area kehidupan manusia. Namun ada
pendapat lain yang menyatakan bahwa hubungan negara dan agama adalah satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan karena satu sama lain saling membutuhkan. Pendapat
ini disebut dengan Aqidah Islamiyah.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah :
1. Konsep
dasar tentang negara.
2. Unsur-unsur
negara.
3. Teori
tentang terbentuknya negara.
4. Bentuk-bentuk
negara.
5. Tujuan
terbentuknya negara.
6. Konsepsi
negara dan agama.
7. Relasi agama dan negara dalam Islam.
8. Mendirikan negara dalam pandangan Islam.
C.
Tujuan
Penyusunan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah agar kita
sama-sama mengetahui dan membahas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
negara dan agama serta hubungan keduanya dalam perspektif keilmuan Politik
Islam.
[2] Ittihad
Amin Zainul, Materi Pokok Pendidikan
Kewarganegaraan (Jakarta: Universitas
Terbuka, 2010), h. 32.
BAB II
PEMBAHASAN
- Konsep Dasar Tentang Negara
Negara
secara bahasa adalah agency artinya alat dan authority artinya
wewenang yang mengatur dan mengendalikan manusia dengan masyarakat dan
menertibkan gejala-gejala sosial dalam masyarakat.[1]
Sedangkan
secara terminologi, negara adalah organisasi dalam suatu wilayah yang dapat
melaksanakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan dalam
kekuasaannya.
Menurut
pendapat para pakar ilmu kenegaraan, negara antara lain:
1.
Roger H. Soltau mengatakan, bahwa
Negara adalah perpaduan antara alat (agency) dan wewenang (authority)
yang mengatur dan mengendalikan persoalan-persoalan bersama.
2.
Harold J. Lakski, Negara adalah
sebuah kelompok manusia yang hidup bersama untuk mencapai cita-cita bersama.
3.
Max Weber, negara adalah sebuah
masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah
dalam suatu wilayah.
Dalam
konsepsi Islam, istilah negara berakar pada kata al-balad yang artinya kota,
tinggal di suatu tempat, daerah atau negeri. Kata al-balad yang berarti kota
terdapat pada QS. Al-Balad ayat 1, yaitu :
Artinya
:
Aku
benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah).
(QS. Al-Balad : 1)
Dengan demikian,
definisi negara secara umum adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya
diperintah oleh sejumlah pejabat yang sah melalui peraturan perundang-undangan.
- Unsur-Unsur Negara
Dalam
rumusan konvensi Montevideo pada tahun 1933 disebutkan bahwa suatu negara harus
memiliki 3 (tiga) unsur penting, yaitu rakyat, wilayah dan pemerintah.[2]
Sejalan
dengan itu Mac Ever memberikan rumusan bahwa suatu Negara harus memiliki 3
(tiga) unsur pokok, yaitu: pemerintahan, rakyat, dan wilayah. Ketiga unsur ini
oleh Mahfud MD disebut sebagai unsur Konstitutif. Tiga unsur tersebut perlu
ditunjang dengan unsur lainnya seperti adanya konstitusi/undang-undang dasar
dan pengakuan dunia Internasional yang oleh Mahfud MD disebut dengan unsur
deklaratif.
Dari
beberapa unsur pokok dalam negara diatas maka dapat dijelaskan masing-masing
unsur tersebut ada lima, yaitu sebagai berikut:
1.
Adanya
Rakyat
Rakyat dalam
pengertian keberadaan suatu negara adalah sekumpulan manusia yang dipersatukan
oleh suatu rasa persamaan dan bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu. Tidak
dapat dibayangkan apabila suatu negara tanpa rakyat.
2.
Adanya
Wilayah
Wilayah
adalah unsur negara yang harus terpenuhi karena tidak mungkin ada negara tanpa
adanya batasa-batas teritorial yang jelas. Secara umum wilayah dalam sebuah
negara mencakup daratan, perairan (samudera, laut dan sungai) dan udara. Hal
ini diatur dalam perjanjian dan perundang-undangan Internasional.
3.
Adanya
Pemerintahan
Pemerintahan
adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk
mencapai tujuan bersama.
4.
Adanya
Konstitusi/Undang-Undang
Konstitusi
adalah ketentuan-ketentuan yang melindungi hak-hak dan kekuasaan masyarakat
yang menjamin hak asasi manusia dan warga negara sekaligus menentukan
batas-batas hak dan kewajiban warga negara dan alat pemerintahan.
5.
Adanya
Pengakuan dari Negara Lain
Unsur
pengakuan oleh negara lain hanya bersifat menerangkan adanya negara, yang
bersifat deklaratif, bukan konstitutif, sehingga bersifat mutlak.
- Teori Tentang Terbentuknya Negara
Banyak
dijumpai teori tentang terbentuknya sebuah Negara. Diantara teori-teori
tersebut adalah:
1. Teori Kontrak Sosial (Social Contract)
Teori
kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat beranggapan bahwa Negara
dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat dan tradisi sosial
masyarakat. Teori ini meletakkan untuk tidak berpotensi menjadi Negara tirani,
karena berlangsungnya berdasar pada kontrak-kontrak antara warga Negara dengan
lembaga Negara.[3]
Penganut mazhab pemikiran ini antara lain Tomas Hobbes, Jhon Locke, dan J. J.
Rousseau.
2.
Teori
Ketuhanan (Teokrasi)
Teori
ketuhanan dikenal juga dengan istilah doktrin teokratis. Teori ini ditemukan
baik di timur maupun di belahan dunia barat. Doktrin ketuhanan ini memperoleh
bentuknya yang sempurna dalam tulisan-tulisan para sejarah Eropa pada abad
pertengahan yang menggunakan teori ini untuk membenarkan kekuasaan mutlak para
raja.
Doktrin ini
memiliki pandangan bahwa hak pemerintah yang di miliki para raja berasal dari
tuhan. Mereka mendapat mandat dari tuhan untuk bertahta sebagai pengusa. Para
raja ini mengklaim sebagai tuhan sebagai wakil tuhan di dunia
mempertanggungjawabkan kekuasaannya hanya kepada tuhan, bukan kepada manusia.
Praktik kekuasaan model ini di tentang oleh kalangan Monar Chomach (penentang
raja). Menurut mereka, raja tiran dapat di turunkan dari mahkotanya, bahkan
dapat di bunuh. Mereka beranggapan bahwa sumber kekuasaan adalah rakyat.
Dalam
sejarah tata Negara Islam, pandangan Teokratis serupa pernah dijalankan oleh
raja-raja muslim sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Dengan mengklaim diri mereka
sebagai wakil tuhan atau bayang-bayang Allah di dunia (khalifatullah fi
al-ard, dzillullah fi al-ard), raja-raja muslim tersebut umumnya
menjalankan kekuasaannya secara tirani.[4]
Serupa
dengan raja-raja di Eropa abad pertengahan, raja-raja muslim tidak harus
mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada rakyat, tetapi langsung kepada
Allah. Paham teokrasi islam ini pada akhirnya melahirkan doktrin politik islam
sebagai agama sekaligus kekuasaan (diin wa dawlah). Pandangan ini
berkembang menjadi paham dominan bahwa dalam islam tidak ada pemisahan antara
agama (church) dan Negara (state). Sama halnya dengan pengalaman kekuasaan
teokrasi di barat, penguasa teokrasi islam menghadapi perlawanan dari
kelompok-kelompok anti kerajaan.
3.
Teori
Penaklukan
Secara
sederhana teori ini dapat diartikan bahwa negara terbentuk karena adanya
dominasi Negara kuat melalui penjajahan. Menurut teori ini, kekuatan menjadi
pembenaran (rasion d’ektre) dari terbentuknya sebuah negara. Melalui
proses penaklukan dan pendudukan oleh suatu kelompok (etnis) atas kelompok
tertentu di mulailah proses pembentukan suatu Negara.[5]
Dengan kata lain, terbentuknya suatu Negara karena pertarungan kekuatan dimana
sang pemenang memiliki kekuatan untuk membentuk sebuah negara.
Teori ini berasal
dari kajian Antropologis atas pertikaian yang terjadi di kalangan suku-suku
primitif, di mana si pemenang pertikaian menjadi penentu utama kehidupan suku
yang di kalahkan. Bentuk penaklukan yang paling nyata di masa modern adalah
penaklukan dalam bentuk penjajahan bangsa barat atas bangsa-bangsa timur.
Setelah masa
penjajahan berakhir di awal abad ke-20, di jumpai banyak negara-negara baru
yang kemerdekaannya banyak ditentukan oleh pengusa kolonial. Negara Malaysia
dan Brunei Darussalam bisa dikategorikan ke dalam jenis ini.
- Bentuk-Bentuk Negara
Negara
memiliki bentuk yang berbeda-beda, secara umum dalam konsep ketatanegaraan
modern, negara terbagi dalam 2 bentuk, yaitu berdasarkan sistem pemerintahan
dan berdasarkan pemegang kekuasaannya.
1.
Berdasarkan Bentuk
Pemerintahannya
Berdasarkan bentuk
pemerintahannya, negara terbagi menjadi :
a.
Negara
Kesatuan
Negara
kesatuan adalah bentuk suatu Negara yang merdeka dan berdaulat, dengan satu
pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Namun dalam
pelaksanaanya Negara kesatuan ini terbagi dalam dua macam sistem pemerintahan;
sentral dan otonomi.
1) Negara
kesatuan dengan sistem sentralisasi adalah sistem pemerintahan yang langsung
dipimpin oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah di bawahnya
melaksanakan kebijakan pemerintah pusat. Model pemerintahan orde baru di bawah
pemerintahan presiden Soeharto adalah salah satu contoh pemerintahan model ini.
2) Negara
kesatuan dengan sistem Desentralisasi adalah kepala daerah diberikan
kesempatan, untuk mengurus pemerintah di wilayahnya sendiri. Sistem ini di
kenal dengan istilah otonomi daerah atau swatantra. Sistem pemerintahan
Malaysia dan pemerintahan paska orde baru di Indonesia dengan sistem otonomi
khusus dapat dimasukkan ke dalam model ini.
b.
Negara Serikat
Negara
Serikat atau federasi adalah bentuk Negara gabungan yang terdiri dari beberapa
Negara bagian dari sebuah Negara serikat.[6]
Pada mulanya Negara-negara bagian tersebut melepaskan sebagian dari kekuasaan
dan menyerahkan kepada Negara serikat.
2.
Berdasarkan
Pemegang Kekuasaanya
Berdasarkan
pemegang kekuasaannya, negara dapat digolongkan dalam tiga kelompok yaitu
monarki, oligarki, dan demokrasi.
a. Monarki
Pemerintahan
monarki adalah model pemerintahan yang dikepalai oleh raja atau ratu. Dalam
praktiknya, monarki memiliki dua jenis yaitu monarki absolut dan monarki
konstitusional.
Monarki
absolut adalah model pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi di tangan satu
orang raja atau ratu. Termasuk dalam kategori ini adalah Arab Saudi. Sedangkan,
monarki konstitusional adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan kepala
pemerintahnya (perdana menteri) dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi
Negara.[7]
Praktik monarki konstitusional ini adalah yang paling banyak dipraktikkan di
beberapa Negara seperti Malaysia, Thailand, Jepang, dan Inggris. Dalam model
monarki konstitusional ini, kedudukan Negara hanya sebatas simbol Negara.
b. Oligarki
Model
pemerintahan oligarki adalah pemerintah yang dijalankan oleh beberapa orang
yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
c. Demokrasi
Pemerintahan
model demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang bersandar pada kedaulatan
rakyat atau mendasarkan kekuasaannya pada pilihan dan kehendak rakyat melalui
mekanisme pemilihan umum (pemilu).[8]
- Tujuan Terbentuknya Negara
Tujuan
pendirian negara tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh umat
Islam, yaitu memperoleh kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Karena
tujuan itu tidak mungkin dicapai hanya secara pribadi-pribadi saja, maka Islam
menekankan pentingnya pendirian negara sebagai saranan untuk memperoleh tujuan
tersebut.
Ibn Abi
Rabi’ menjelaskan tujuan negara dengan pandangan sosiologis historis.
Menurutnya manusia diciptakan Allah swt. dengan watak dan kecenderungan
berkumpul dan bermasyarakat. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa manusia secara
pribadi tidak mungkin mampu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bantuan orang
lain. Namun dalam hubungan ini tidak tertutup kemungkinan mereka tergoda oleh
pengaruh-pengaru jahat. Menurut Ibn Abi Rabi’, ada tiga kejahatan yang
melingkupi manusia, yaitu kejahatan yang bersumber dari diri sendiri, kejahatan
yang datang dari sesama mereka dan kejahatan yang datang dari masyarakat lain.
Kejahatan
yang pertama dapat dihilangkan dengan mengikuti kehidupan yang baik,
mengendalikan diri dan menggunakan akal dalam menyelesaikan setiap persoalan.
Kejahatan kedua dapat dicegah dengan menegakkan dan mematuhi hukum-hukum Allah.
Artinya siapa yang bersalah harus dihukum sesuai ketentuan-Nya. Sedangkan
kejahatan ketiga dapat dihindarkan dengan pembentukan negara. Inilah tujuan
negara menurut Ibn Abi Rabi’. Dengan pembentukan negara, maka manusia dapat
menjalankan kehidupannya dengan baik, jauh dari sengketa dan dapat mencegah
dari intervensi pihak-pihak asing.
Secara umum,
al-Mawardi menjelaskan bahwa tujuan pembentukan negara (imamah) adalah
mengganti kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur dunia (al-Imamah
maudhu’ah likhilafah al-nubuwwah fi hirasah al-din wa al-siyasah al-dunya).
Sementara Ibn Khaldun merumuskan tujuan negara adalah untuk mengusahakan
kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada kepentingan akhirat.
Dari
pendapat-pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan negara dalam
Islam bukan hanya untuk kepentingan duniawi saja, melainkan juga untuk hal-hal
yang bersifat ukhrawi.
Secara
sederhana Fazlur Rahman merumuskan tujuan negara Islam adalah untuk
mempertahankan keselamatan dan integritas negara, memelihara terlaksananya
undang-undang dan ketertiban serta membangun negara itu sehingga setiap warga
negara mengetahui kemampuan masing-masing dan mau menyumbangkan kemampuannya
itu demi terwujudnya kesejahteraan seluruh warga negara.
Penjelasan
ini mengisyaratkan bahwa negara merupakan alat untuk menerapkan dan
mempertahankan nilai-nilai ajaran Islam agar lebih efektif dalam kehidupan
manusia. Di samping itu negara juga didirikan untuk melindungi manusia dari
kesewenang-wenangan satu orang atau golongan terhadap orang atau golongan
lainnya. Negara mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk memaksa agar peraturan-peraturan
yang dibuat dapat dipatuhi sejauh tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu
sendiri. Namun demikian, negara Islam itu sendiri bukanlah tujuan dalam Islam,
melainkan hanyalah merupakan alat atau sarana dalam mencapai tujuan
kemaslahatan manusia.
- Konsepsi Negara dan Agama
Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya
baik politik,
militer,
ekonomi,
sosial
maupun budayanya
diatur oleh pemerintahan
yang berada di wilayah tersebut.[9] Negara juga merupakan
suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua
individu di wilayah tersebut, dan berdiri secara independent.
Syarat primer sebuah negara adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan
memiliki pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan syarat sekundernya adalah
mendapat pengakuan dari negara lain.
Sementara Agama menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata “agama” berasal
dari bahasa Sanskerta, āgama yang
berarti “tradisi”. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah
religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang
berarti “mengikat kembali”. Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat
dirinya kepada Tuhan.
- Relasi Agama dan Negara dalam Islam
Para ahli
merumuskan beberapa teori untuk menganalisa relasi antara negara dan agama yang
antara lain dirumuskan dalam 3 (tiga) paradigma, yaitu paradigma integralistik,
paradigma simbiotik, paradigma sekularistik.
1. Paradigma Integralistik (Unified Paradigm)
Secara umum
teori integralistik dapat dinyatakan sebagai kesatuan yang seimbang dan terdiri
dari berbagai entitas. Entitas disini memiliki sifat yang berbeda satu sama
lain. Perbedaan itu tidak berarti saling menghilangkan justru saling
melengkapi, saling menguatkan dan bersatu.
Dalam
kaitannya dengan relasi negara dan agama, menurut paradigma integralistik,
antara negara dan agama menyatu (integrated). Negara selain sebagai
lembaga politik juga merupakan lembaga keagamaan.
Menurut
paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan
politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar ”kedaulatan ilahi” (divine
sovereignty), karena pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan
berasal dan berada di ”tangan Tuhan”.
Paradigma
integralistik ini memunculkan paham negara agama atau Teokrasi.[10]
Dalam paham teokrasi, hubungan Negara dan Agama digambarkan sebagai dua hal
yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan Agama, karena pemerintahan
dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam
masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Dengan demikian,
urusan kenegaraan atau politik, dalam paham teokrasi juga diyakini sebagai
manifestasi firman Tuhan.
Dalam
perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua bagian, yakni paham
teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung.[11]
Menurut paham teokrasi langsung, pemerintahan diyakini sebagai otoritas Tuhan
secara langsung pula. Adanya Negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan,
dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula. Sementara menurut
pemerintahan teokrasi tidak langsung yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri,
melainkan yang memerintah adalah raja atau kepala Negara atau raja yang
diyakini memerintah atas kehendak Tuhan.
2. Paradigma Simbiotik (Symbiotic Paradigm)
Secara umum,
teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua entitas yang
saling menguntungkan bagi peserta hubungan. Dalam konteks relasi negara dan
agama, bahwa antara negara dan agama saling memerlukan.
Dalam hal
ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang.
Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat
berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.
Karena
sifatnya yang simbiotik, maka hukum agama masih mempunyai peluang untuk
mewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam masalah tertentu tidak menutup
kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara.[12]
Marzuki
Wahib dan Rumadi membagi Paradigma Simbiotik ini menjadi tiga jenis, yaitu:
-
Agama dan negara mempunyai
keterkaitan namun aspek keagamaan yang masuk ke wilayah negara sedikit,
sehingga negara demikian lebih dekat ke negara sekular.
-
Aspek agama yang masuk ke wilayah
negara lebih banyak lagi, sehingga sekitar 50% konstitusi negara diisi oleh
ketentuan agama.
-
Aspek agama yang masuk ke wilayah
negara sekitar 75%, sehingga negara demikian sangat mendekati negara agama.
Dalam
konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya
kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling
besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak.
Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara Negara dan Agama
merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya,
konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social
contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum Agama.
3. Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm)
Paradigma
ini menolak kedua paradigma diatas. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik
mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara
atas agama.[13]
Negara dan
Agama merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan
bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak
boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang
dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul
berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada
kaitannya dengan hukum Agama.
Paradigma
ini memunculkan negara sekuler. Dalam Negara sekuler, tidak ada hubungan antara
sistem kenegaraan dengan agama.[14] Dalam paham ini,
Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia.
Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini, menurut
paham sekuler tidak dapat disatukan.
Norma hukum
ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan Agama atau
firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan
norma-norma Agama. Sekalipun ini memisahkan antara Agama dan Negara, akan
tetapi pada lazimnya Negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk
Agama apa saja yang mereka yakini dan Negara tidak intervensif dalam
urusan-urusan Agama (Syari’at).
- Mendirikan Negara Dalam Pandangan Islam
Penegakkan
institusi imamah atau khilafah, menurut para fuqaha, mempunyai dua fungsi,
yaitu menegakkan agama Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya, serta menjalankan
politik kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan Islam.[15]
Agar kepemimpinan
Islam (imamah atau khilafah) dapat berlaku secara efektif dalam dunia Islam,
maka umat Islam membutuhkan pendirian negara untuk merealisasikan ajaran-ajaran
Islam. Islam memandang bahwa negara hanyalah merupakan alat, bukan tujuan itu
sendiri. Karena merupakan alat, para ulama berbeda pendapat tentang pendirian
negara dalam Islam.
Menurut
al-Mawardi, hukum mendirikan negara berdasarkan pada ijma’ ulama, adalah fardhu
kifayah. Pandangannya didasarkan pada kenyataan sejarah al-Khulafa’
al-Rasyidun dan khalifah-khalifah setelah mereka. Pandangan ini sejalan
dengan kaidah yang menyatakan ma la yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa wajib
(suatu kewajiban tidak sempurna kecuali melalui alat atau sarana, maka alat
atau sarana itu juga hukumnya wajib).
Artinya menciptakan
dan memelihara kemaslahatan adalah wajib, sedangkan alat untuk terciptanya
kemaslahatan tersebut adalah negara. Maka hukum mendirikan negara juga wajib (fardhu
kifayah).
Pada
gilirannya Islam kemudian menjadi ideologi politik bagi masyarakat dalam
kerangka yang lebih kongkret bahwa Islam memerintahkan kaum muslimin untuk
menegakkan negara dan menerapkan aturan berdasarkan hukum-hukum Islam. Masalah
politik, ekonomi, sipil-militer, pidana dan perdata diatur jelas oleh Islam.
Seluruh aturan itu telah dipraktekkan pada masa Rasulullah, al-Khulafa
al-Rasyidun, dan pemerintahan sesudahnya. Hal itu membuktikan bahwa Islam
merupakan suatu sistem bagi negara dan pemerintahan serta untuk mengatur
masyarakat, umat dan individu-individu.[16]
Keterangan
di atas menunjukkan bahwa negara tidak memiliki wewenang untuk memerintah,
kecuali sesuai dengan sistem Islam, Islam tidak akan terwujud dalam kehidupan
sampai ia ditegakkan dalam suatu negara yang menerapkan hukum-hukumnya. Islam
merupakan suatu agama, sedangkan ideologi dan sistem pemerintahan merupakan
bagian dari Islam. Tegaknya negara adalah satu-satunya cara yang disyariatkan
untuk menerapkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan manusia. Islam tidak dapat
terwujud dalam kehidupan kecuali ia memiliki institusi negara yang menerapkan
hukum-hukumnya di segala aspek. Negara Islam adalah suatu bentuk institusi
politik yang manusiawi, bukan institusi ketuhanan (teokrasi).
Pandangan
senada juga diberikan oleh Al-Ghazali :“Sultan (kekuasaan politik) adalah
wajib untuk ketertiban dunia, ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama,
ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat. Inilah tujuan sebenarnya
para rasul. Jadi wajib adanya imam merupakan kewajiban agama yang tidak ada
jalan untuk meninggalkannya.” [17]
Berbeda dengan
dua pemikir sunni di atas, Ibn Taimiyah berpendapat kesejahteraan dan
kemaslahatan manusia tidak akan tercipta kecuali hanya dalam suatu tatanan
sosial dimana setiap orang saling bergantung pada lainnya. Oleh sebab itu,
dibutuhkan negara dan pemimpin yang akan mengatur kehidupan sosial tersebut.
Jadi, bagi Ibn Taimiyah, penegakan negara bukanlah salah satu asas atau dasar
agama Islam, melainkan hanya kebutuhan praktis saja.
Kelompok
Khawarij berpendapat hampir sama dengan Ibn Taimiyah. Pendirian negara menurut
mereka, bukanlah didasarkan pada perintah syar’i. pertimbangan mendirikan
negara adalah kemaslahatan. Jika menurut kemaslahatan dibutuhkan negara, maka
hal tersebut boleh dilakukan. Tapi jika tanpa negara sudah tercipta
kemaslahatan, maka negara tidak dibutuhkan. Pendapat ini juga dianut oleh
Mu’tazilah. Hanya saja Mu’tazilah menambahkan bahwa akallah yang menetapkan
perlu tidaknya negara. Konsekuensinya, jika akal menetapkan perlu membentuk
negara, maka umat Islam wajib mematuhinya. Sebab kekuatan hukum akal sama
dengan nash.
Pemikir
modern aktivis al-Ikhwan al-Muslimun, ‘Abd al-Qadir ‘Audah, mengemukakan
enam argumen tentang wajibnya mendirikan negara ini, yaitu:
1. Khilafah
atau imamah merupakan sunnah fi’liyah Rasulullah Saw. sebagaimana
pendirian negara Madinah. Dalam negara ini, beliau menciptakan satu kesatuan
politik dan menyatukan umat Islam di bawah kepemimpinannya.
2. Umat Islam,
khususnya para sahabat Nabi, sepakat (ijma’) untuk memilih pemimpin
negara setelah wafatnya Rasulullah Saw. seandainya para sahabat ketika itu
berbeda pendapat tentang penggantian Rasul, tentu saja pendirian negara juga
tidak mereka sepakati.
3. Sebagian besar
kewajiban syar’i tergantung pada adanya negara. Kemaslahatan yang hendak
diciptakan oleh umat Islam tidak akan terwujud tanpa sarananya.
4. Nash-nash
Al-Qur’an dan hadits Nabi sendiri mengisyaratkan tentang wajibnya mendirikan
negara, seperti dalam surat an-Nisa’, 4:59 yang menyatakan “Taatilah Allah dan
taatilah Rasul-Nya, serta uli al-amr di antara kamu.” Juga hadis yang
mengatakan bahwa orang muslim yang mati tidak membay’ah imam, maka matinya
dalam keadaan jahiliyah.
5. Sesungguhnya
Allah menjadikan umat Islam sebagai satu kesatuan, meskipun berbeda bahasa,
suku bangsa dan warna kulitnya. Perbedaan ini tidak boleh menjadikan mereka
berpecah dan berselisih paham. Karena itu umat Islam juga merupakan satu
kesatuan politik.
6. Konsekuensi
dari kesatuan politik ini adalah bahwa umat Islam harus memilih dan mematuhi
satu pemimpin tertinggi.
Di samping
itu, ‘Audah juga mengemukakan argumentasi kewajiban mendirikan negara secara
akal. Menurutnya, mewujudkan pemerintahan dalam masyarakat Islam merupakan
kebutuhan bagi masyarakat itu sendiri. Sebab manusia secara pribadi tidak
mungkin bisa memenuhi kebutuhan hidupnya mencapai kemaslahatan.
Para Orientalis juga berpendapat, yang antara lain,
C.A. Nolino mengatakan, “Muhammad telah meletakkan dasar agama dan agama pada
waktu yang sama.” Mac Donald mengatakan, “Di sana di Madinah, telah terbentuk
negara Islam yang pertama, diletakkan pula prinsip-prinsip asasi di dalam
aturan-aturan Islam.” H.R. Gibb, menyatakan, “Pada waktu itu jelas bahwa Islam
bukanlah semata akidah agama yang individual sifatnya, tetapi juga mewajibkan
mendirikan masyarakat yang mempunyai uslub-uslub tertentu di dalam
pemerintahan dan mempunyai undang-undang dan aturan-aturan yang khusus.[18]
[2] Kansil,
Pancasila dan Undang-undang dasar 1945 (Jakarta: Pradnya Paramita,
2005), h. 79.
[6] Kansil,
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Pradnya Paramita,
2005), h. 86.
[7] Ittihad
Amin Zainul, Materi Pokok Pendidikan
Kewarganegaraan (Jakarta: Universitas
Terbuka, 2010), h. 37.
[13] Ittihad
Amin Zainul, Materi Pokok Pendidikan
Kewarganegaraan (Jakarta: Universitas
Terbuka, 2010), h. 82.
[15] Muhammad
Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2007), h. 130.
[16] Abdul
Qadim Zallum, Pemikiran Politik Islam (Bangil: Al-Izzah, 2001), h.
151-155.
[17] Mujar
Ibnu Syarif, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam (Jakarta:
Erlangga, 2008), h. 88.
[18] Djazuli,
Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah
(Jakarta: Kencana, 2003), h. 80.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
1. Negara
secara bahasa adalah agency yang artinya alat.
Secara istilah negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya
diperintah oleh sejumlah pejabat yang sah melalui peraturan perundang-undangan.
2. Negara terbentuk atas unsur konstitutif dan
deklaratif.
3. Ada tiga teori dalam terbentuknya negara yaitu teori kontrak
sosial, teori ketuhanan serta teori penaklukan.
4. Berdasarkan bentuk pemerintahannya negara tergolong kepada negara
kesatuan dan negara serikat. Sedangkan ditinjau dari pemegang kekuasaannya
negara digolongkan ke dalam monarki, oligarki serta demokrasi.
5. Ibn Khaldun
merumuskan tujuan negara adalah untuk mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia
yang bermuara pada kepentingan akhirat.
6. Agama menurut KBBI adalah sistem yang
mengatur tata keimanan dan peribadatan
kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
7. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa Islam tidak mewajibkan manusia
untuk membentuk negara. Namun mengingat banyaknya hak dan kepentingan manusia
dalam proses interaksinya, dibutuhkan adanya negara untuk mengakomodir hak dan
kepentingan tersebut agar tidak timbul pertikaian.
- Saran
1. Dalam
pemikiran politik bercorak ke-Islaman, agama dan negara tidak dapat dipisahkan.
Sehingga perlu adanya pengubahan paradigma sekularistik.
2. Pemakalah sangat mengharapkan saran dan kritik dari
pembaca untuk perbaikan di masa mendatang.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Djazuli. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat
dalam Rambu-Rambu Syariah. Jakarta: Kencana, 2003.
Iqbal, Muhammad. Fiqh
Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007.
Kansil.
Pancasila dan Undang-undang dasar 1945. Jakarta: Pradnya Paramita, 2005.
Khallaf,
Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama, 1994.
Riyadi,
Slamet. Kewarganegaraan. Banyumas: Cahaya Pustaka, 2006.
Santoso,
Djoko. Wawasan Kebangsaan. Yogyakarta: Indonesian Army Press, 2007.
Santoso,
Slamet. Pendidikan Kewarganegaraan. Purwokerto: Unsoed, 2005.
Syarif, Mujar Ibnu. Fiqh
Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Erlangga, 2008.
Ubaidillah. Pendidikan
Kewargaan (Civic Education). Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000.
Zainul, Ittihad Amin. Materi Pokok Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Universitas Terbuka, 2010.
Zallum,
Abdul Qadim. Pemikiran Politik Islam. Bangil: Al-Izzah, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar