KEBIASAAN TAWURAN DI KALANGAN REMAJA, SALAH SIAPA?
Oleh : Zuchri Lubis
Ketika kita
melakukan searching di mesin pencari (search engine) dengan kata
kunci “tawuran”, lebih dari 1000 kasus yang ditampilkan dalam search engine tersebut
adalah tawuran yang dilakukan oleh remaja. Tawuran merupakan salah satu PR
pemerintah Indonesia dan kota-kota besar di Indonesia khususnya, dan PR
masyarakat Indonesia pada umumnya. Tawuran menjadi masalah yang sangat pelik
bagi Indonesia dari masa ke masa, terutama di era globalisasi ini. Dimana
tingkah laku dan motif berpikir remaja sangat dipengaruhi oleh pergaulan dan aksi-aksi
brutal yang tanpa hentinya mengalir detik demi detik melalui media elektronik
dari seluruh dunia.
Untuk lebih jelasnya, mari kita
uraikan maksud “Tawuran di Kalangan Remaja” berdasarkan KBBI (Kamus Besar
Bahasa Indonesia). Menurut KBBI, tawuran berasal dari kata tawur yang mendapat
akhiran -an, yang artinya “perkelahian beramai-ramai; perkelahian massal.”
Sementara itu, remaja adalah “manusia yang mulai dewasa; sudah sampai umur
untuk kawin; bukan kanak-kanak lagi.” Dengan demikian, Tawuran di Kalangan
Remaja adalah perkelahian beramai-ramai yang terjadi di kalangan manusia yang
mulai dewasa (bukan kanak-kanak lagi).
Perilaku nakal yang memicu tawuran
remaja, bisa disebabkan oleh faktor dari remaja itu sendiri (internal) maupun
faktor dari luar (eksternal). Faktor internal yakni krisis identitas perubahan
biologis dan sosiologis pada diri remaja. Kontrol diri yang lemah membuat
remaja tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima,
dengan tingkah laku yang tidak dapat diterima. Kontrol diri yang lemah,
sementara rasa penasaran yang tinggi akan menyeret pada perilaku “nakal”.
Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku
tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku
sesuai dengan pengetahuannya. Kontrol diri yang lemah akan semakin bermasalah
ketika mereka berkumpul dengan sesamanya yang sama-sama masih remaja.
Faktor eksternal yang berpengaruh
terhadap munculnya tindakan menyimpang pada seseorang adalah keluarga. Keluarga
adalah realitas awal remaja mengenal dunia nyata. “Kesan pertama” dalam
keluarga adalah edukasi awal bagi remaja dalam memandang dunia nyata. Kalau
kondisi sebuah keluarga berantakan (broken home) maka dapat dipastikan
si anak remaja akan mengalami kebingungan identitas. Bila keluarga menjadi
dasar pengenalan remaja pada dunia nyata didalamnya sering terjadi tindakan
yang menyimpang maka dipastikan si anak remaja akan terpengaruh oleh kondisi
ini. Keluarga yang berpendidikan punya pengaruh besar dalam mencetak generasi
muda potensial, begitupun sebaliknya keluarga yang bermasalah secara tidak
langsung sedang mencetak generasi yang bermasalah.
Selain masalah kondisi rumah yang
berkontribusi pada permasalahan remaja ternyata ada hal lain yang berpengaruh
pula yakni teman sebaya yang kurang baik. Pepatah bijak mengatakan siapa teman
kita menentukan siapa kita, ini menjelaskan bahwa seorang remaja dengan siapa
ia berteman akan menentukan siap dirinya. Teman sebaya yang buruk secara tidak
langsung akan meng-guide remaja pada hal-hal yang kurang baik, dimana
suatu saat akan terakumulasi dan berwujud satu bentuk perilaku dan tindakan
menyimpang.
Jika kita amati penyebab kenakalan
remaja sebelumnya, penyebab demikian juga mengakibatkan adanya tawuran remaja.
Seorang remaja yang memiliki rasa penasaran yang tinggi dan kurang mendapatkan
perhatian dari orang tuanya, mempunyai sekumpulan teman sepermainan yang
brutal, bertemu dan terlibat masalah dengan sekumpulan remaja berbeda prinsip
hidup namun dengan kesamaan sifat yang keras, keadaan demikianlah yang
menyebabkan adanya tawuran. Sementara Ketika kita menanyakan kepada kebanyakan
remaja pelaku tawuran, “mengapa kalian melakukan ini (tawuran)?”, hampir
dipastikan jawabannya serupa di daerah yang satu dengan daerah lainnya. “Kami
melakukannya karena Emosi.” Jika kita telusuri lebih dalam lagi, tawuran itu
sendiri terjadi akibat hal-hal yang sepele.
Di daerah Caglak, Pasar Rebo, Jakarta
Timur, misalnya. Seorang anggota Kasat Lantas Jakarta Timur terkena samurai di
bagian telapak tangannya saat menghalangi pelajar yang akan tawuran di daerah tersebut
pada Sabtu 08 Oktober 2011. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan
Medan, tawuran sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro
Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat
menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus
dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998
ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun
berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke
tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan tercatat dalam
satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.
Sejak SD kita sudah diajarkan budi
pekerti melalui pelajaran PPKn, juga ada pelajaran agama, yang intinya harus
saling menghargai dengan orang lain (tenggang rasa). Tidak ada satu butir pun
dari pelajaran sekolah yang mengajarkan tindak kekerasan. Dari mana hasrat
tawuran itu berasal dan kenapa bisa membudaya? Apakah sekolah sebagai
penyelenggara pendidikan bisa dikatakan gagal dalam mendidik akhlak para calon
penerus bangsa? Atau orangtuanya kah yang kurang bisa mendidik mereka untuk
tidak menggunakan kekerasan sebagai jalan keluar masalah? Dalam keadaan demikian,
siapakah yang disalahkan?
Jalan satu-satunya dalam masalah ini, adalah melakukan
langkah-langkah strategis dalam membentuk pribadi yang humanis dan bertanggung
jawab. Dalam hal ini, penulis menyarankan:
1.
Data semua sekolah yang
sering terlibat tawuran, lakukan sosialisasi edukasi yang baik. Jangan
sekali-kali mengeksekusi mereka dengan perkataan dan tindakan fisik yang
merendahkan harga diri mereka.
2.
Kenali lebih baik siapa
sebenarnya mereka? Ketahui nama dan identitas lainya dekati secara apresiatif,
segala kesalahan mereka jelaskan sebagai sebuah kekhilafan yang tak harus
diulangi kembali.
3.
Berkunjung kerumah mereka
dan bersilaturahmi dengan orang tuannya. Kunjungan ini akan menjadi peristiwa
penting bagi mereka apalagi kita dapat “akrab” dengan pihak keluargannya.
4.
Berikan ruang ekspresi
dalam bentuk wadah kegiatan kesukaan mereka. Karena usia remaja adalah usia
kelebihan energi, sehingga energinya harus diurai dengan kegiatan-kegiatan
positif di sekolah dengan pendampingan guru khusus.
5.
Tak Kenal Maka Tak Sayang.
Ungkapan ini syarat dengan filosofis yang humanis, bila mereka mengenal
seseorang maka ia bisa menjadi teman tapi bila mereka tidak mengenal seseorang
maka ia menjadi orang lain.
6.
Berikan santunan. Menurut
beberapa penelitian, faktor golekmah (golongan ekonomi lemah) menjadi penyebab
kenakalan remaja.
7.
Berikan peranan dan
tanggung-jawab untuk mengerjakan dan melakukan sesuatu yang ia sukai.
8.
Lakukan kerjasama yang
maksimal dengan sekolah (guru dan kepala sekolah) untuk melakukan pengawasan
humanis dan pendekatan yang demokratis dengan para remaja yang nakal.
9.
Mengadakan kegiatan rutin
berupa Out Bond dan rekreasi khusus sebagai media menyatukan hati sesama
remaja.
10. Mengadakan
trainer motivasi secara rutin kepada mereka. Seorang trainer motivator yang
berpengalaman akan memberikan motivasi dan inspirasi pada mereka untuk menjadi orang yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar